“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurku…”
Sejenak Rima menoleh
kearah suara kecil itu, sesosok anak laki-laki berperawakan kurus membawa
kencringan, dia bernyanyi sambil sesekali memejamkan mata kecilnya disamping
angkutan umum yang kini sedang di naiki Rima. Rasa iba segera menggerayangi
hati kecilnya, andai tidak sekedar uang recahan yang bisa diberikan pada anak
itu, tapi nyatanya Rima juga tidak mempunyai yang lebih dari itu.
Rima memutuskan untuk
turun dari angkutannya, membawa anak kecil yang menenteng kencringan itu menepi
kearah jembatan layang, anak itu terlihat sedikit bingung tapi tetap mengikuti
langkah Rima.
“nama kamu siapa
dek?” Tanya Rima membuka percakapan saat mereka sudah mulai duduk ditepian terotoar.
“saya Jailani Kak,
tapi nama keren saya Joy Kak” anak itu menjelaskan dengan tersenyum seakan dia
selalu bahagia, padahal jelas kulit tangannya yang hitam karena terbakar
matahari menceritakan betapa keras hidupnya.
“oh! Hay Joy, kenalkan
namaku Rima” kata Rima sambil menyalami tangan anak yang duduk disebelahnya
itu.
“Kak Rima?”
“iya… kamu bisa
memanggilku seperi itu… Joy apa kamu masih sekolah?” tanya Rima kemudian,
sejenak Joy terdiam seperti berpikir, senyum diwajahnya sekejap menghilang
seerti tertelan dalam bisingnya kendaraan yang berlalu lalang
“seharusnya memang
begitu Kak, tapi keluargaku tidak punya cukup biaya lagi untuk menyekolahkanku”
“kenapa hasil ngamen
kamu itu tidak kamu gunakan untuk sekolah saja?”
“gak cukup Kak, sudah
cukup buat makan saja sudah bagus” Rima terdiam mendengar jawaban Joy, dia
berpikir memang sangat sulit hidup dikota besar seperti ini, jangakan Joy
dirinya sendiri saja kadang hanya makan dua kali sehari untuk lebih menghemat
biaya bulanannya. Orang tua Rima pun bukan orang yang berada, mereka hanya petani
yang mempunyai mimpi besar untuk anak-anaknya agar hidup lebih layak.
“Kak?” Joy mulai
sadar kalau Rima sedari tadi melamun.
“Joy, apa banyak
teman-teman kamu yang bernasib sama seperti kamu?”
“banyak Kak, malah
banyak yang belum pernah sekolah sama sekali, aku ini sudah termasuk beruntung”
“apa mereka masih
ingin sekolah?” mendengar pertanyaan Rima yang satu ini Joy tersenyum getir.
“Kakak ingin membantu
kita? Sudah banyak yang berjanji seperti itu Kak, tapi sampai sekarang mereka
itu tidak pernah kembali kesini” jawaban Joy seakan bisa membaca isi hati Rima,
mebuat Rima terhenyak sesaat.
“selama kalian punya
mimpi, jangan biarkan mimpi itu padam… Joy, Kakak tidak berjanji untuk menolong
kalian, tapi Kakak akan berusaha sebisa Kakak untuk menolong kalian, Kakak juga
bukan dari keluarga kaya raya, tapi Kakak bisa seperti ini karena Kakak punya
mimpi” mendengar kata-kata itu Joy tersenyum, dimata anak itu sekilas Rima bisa
melihat mimpi yang membara.
Joy berjalan menjauhi
Rima, dalam benaknya terukir sejuta mimpi yang pernah hancur dan kini
perlahan-lahan dia bangun kembali, walaupun tidak sepenuhnya dia mempercayai
kalau seorang Kakak yang baru saja dia temui itu akan mewujudkan mimpinya.
Perlahan dia mulai memainkan kencringannya dan kembali, menyandar pada sebuah
mobil angkutan umum, kembali bernyanyi diatas dunia yang sungguh terasa sangat
keras bagi anak seumurannya.
Hari ini jam kuliah baru saja
selesai, tapi Rima masih terdiam diatas kursinya, perlahan dia menyelipkan satu
lembar uang seribuan kedalam amplop putih. Sudah dua minggu ini dia mengisi
amplop itu dengan lembaran uang seribu, dia menyisihkan seribu setiap harinya,
paling tidak itu yang mampu diberikan Rima untuk menolong si Joy dan
teman-temannya, walaupun Rima masih tidak tau akan digunakan untuk apa uang
itu. Kelas sudah sepi, diluar pun sudah mulai gelap saat Rima menyusuri
pelataran parkir kampusnya,
“tiiiinnn…” suara
klason mobil sport dari arah belakang Rima, membuat Rima harus menggeser
langkahnya agar mobil itu bisa lewat dengan leluasa
“andai orang-orang
seperti mereka sudi berbincang dengan anak-anak seperti Joy, mungkin nasib Joy
dan teman-temannya akan lebih baik. Tapi apa mungkin mereka mau membantu??”
batin Rima sambil menghela nafas, sebenarnya Rima pun sudah tau jawaban dari
pertanyaan yang ada dibenaknya itu, tapi Rima lebih tertarik untuk kembali
melanjutkan langkahnya.
Dua bulan kemudian, Rima mempercepat
langkahnya, dia menyusuri jalan disepanjang jalan dimana dia pertama kali
bertemu Joy, dia bertanya pada pemuda-pemuda jalanan yang juga duduk disana,
tapi sampai anak kelima yang dia tanyai tak ada satupun yang tau keberadaan
Joy.
“Kakak cari Bang
Joy?” tanya seorang anak kecil yang kira-kira masih berumur lima tahun.
“iya… kakak cari dia,
adek tau Abang Joy dimana?” Tanya Rima sambil sedikit membungkukkan badannya
kearah anak itu dan anak itu pun mengangguk.
“antar Kakak ketempat
Abang bisa?” anak kecil itu mengangguk lagi kemudian sampai akhirnya dia berjalan menyusuri pekarangan yang cukup
besar dan Rima mengikutinya dari belakang.
“itu Bang Joy” kata
anak kecil itu sambil menunjuk kearah sebuah gundukan tanah yang masih merah
dengan batu nisan yang bertuliskan “jailani”. Kaki Rima bergetar hebat
mendapati apa yang sedang dilihatnya sekarang.
“Joy meninggal…”
bisik Rima lirih dengan suara bergetar, setetes air mata keluar dari matanya,
dia seret langkahnya mendekat kearah nisan Joy.
“Joy… apa Kakak terlambat?”
batin Rima
“Joy meninggal satu
minggu yang lalu, dia kena Demam berdarah dan terlambat mendapat pertolongan”
kata sumber suara disamping Rima, ternyata ada seorang anak laki-laki,
sepertinya seumuran dengan Joy berdiri tepat disamping Rima.
“nama kamu sapa dek?”
Tanya Rima sambil mengulurkan tangannya
“Satrio” jawab anak
itu singkat
“nama Kakak, Rima”
kata Rima sambil tersenyum pada anak yang bernama Satrio itu
“Kak Rima?” anak itu
bertanya seakan-akan pernah mengenal Rima sebelumnya.
“iya… apa kamu kenal
sama Kakak?”
“sebelum Joy
meninggal, Joy pernah bercerita tentang Kakak pada kami”
“oh ya? Apa yang
diceritakan Joy?”
“Joy bilang ada
seorang Kakak yang akan menolong kita. Selama ini Joy yang menolong kita Kak,
dia membantu kita belajar, dia membuatkan kita tempat yang cukup nyaman untuk
bisa belajar bersama, dia seperti pahlawan kita” mendengar apa yang dikatakan
Satrio barusan membuat darah Rima seketika berdesir, Joy dengan keadaan seperti
itu ternyata bisa membantu teman-temannya sampai seperti itu, sedang dia yang bisa
dibilang berkecukupan masih belum mampu berbuat apapun.
“bisa tunjukan dimana
tempat kalian belajar biasanya?” Tanya Rima, Satrio pun mengangguk dan mulai
membawa Rima menyusuri perkampungan sempit padat penduduk. Sampai akhirnya
langkah mereka terhenti pada sebuah gubuk yang sepertinya kosong, Rima memasuki
gubuk kecil itu, cuma ada satu pintu disana dan dua jendela yang hanya ditutup
dengan kayu tipis, dua tikar bekas tergelar dilantai itu.
“jadi disini biasanya
kalian belajar?” Tanya Rima sambil mencoba membersihkan tikar disamping dia
berdiri dan Satrio hanya mengangguk sambil tetap berdiri di dekat pintu.
“besok sore bisa kamu
kumpulkan lagi teman-teman kamu disini? Kakak tidak bisa berjanji untuk
membantu banyak tapi Kakak akan berusaha sebisa mungkin membantu kalian”
“iya Kak! Besok akan
aku kumpulkan lagi teman-teman disini” ada senyum sumringah dibalik jawaban
Satrio itu, membuat Rima semakin yakin kalau langkahnya kali ini yang paling
benar.
Sore setelah jam kuliahnya selesai,
Rima bergegas menuju gubuk tempat dia akan bertemu dengan anak-anak dengan
semangat tinggi untuk belajar, untuk mewujudkan cita-cita indah mereka. Dengan
senyum indahnya, Rima membuka pintu gubuk itu. Ternyata disana ada sekitar sembilan
anak yang sedang menunggu kedatangannya.
“selamat sore
semuanya” sapa Rima dengan senyumnya yang mengembang, suasana pun jadi lumayan
riuh digubu kecil itu.
“Kakak bisa minta
tolong, bagaimana kalau sebelum belajar hari ini kita bersihkan tempat ini
dulu?”
“iya Kak” jawab
mereka serentak dengan nada riang. Kemudian mereka pun mulai menyapu lantai
yang terbuat dari semen itu, Rima juga berusaha membuka jendela yang tertutup
kayu agar udara dalam gubuk itu tidak terlalu pengap.
Setelah dirasa cukup
bersih Rima menyuruh mereka semua agar duduk rapi diatas tikar yang sudah
lusuh.
“pertama-tama kita
perkenalan dulu, nama Kakak Rima, kakak masih kuliah dan Kakak punya mimpi
besar untuk membantu mewujudkan mimpi kalian semua. Sekarang gantian kalian ya
satu per satu kenalkan diri kalian didepan.” Kata Rima sambil setelah itu mulai
duduk diatas tikar.
Mereka mulai
memperkenalkan diriya masing-masing, ternyata benar mereka ada Sembilan orang
termauk Satrio. Terlihat jelas dari mata mereka terpancar harapan yang sangat
terang. Dan dari sinilah mereka kembali merajut impian mereka. Satrio yang
hidup sebatang kara, Tini yang memunyai banyak sekali adik yang masih kecil,
Dina dengan kakinya yang cacat, Dila yang harus membantu neneknya yang sudah
sangat tua, sedangkan Salsa, Ika, Harun, Malik, dan Faris tidak perah sama
sekali merasakan bangku sekolah. Kini mereka ada di tempat itu untuk
bersama-sama mewujudkan mimpi mereka tentang kehidupan yang lebih layak suatu
saat nanti. Rima sendiri hanya bisa tersenyum haru mendengar celoteh mereka,
generasi bangsa yang hampir tertelan kejamnya kota metropolitan. Rima sadar
jalannya masih panjang untuk membantu mereka, dia berharap nanti akan banyak
keajaiban yang datang diantara mereka.
Tiga tahun berlalu, Rima berjalan
menuju gubuk kecil tempatnya berbagi ilmu dengan teman-teman kecilnya,
disela-sela langkah cepatnya Rima menyelikan uang seribu dalam amplop putihnya.
Rima bersyukur usahanya tidak sia-sia karena ada saja teman-temannya yang
kadang juga memberikan sumbangannya dan anak-anak setiap harinya mengumpulkan
seratus rupiah tiap anak untuk ditabung.
“Kak Rima… aku dapat
juara satu” teriak Salsa sambil keluar dari gubuk dan memeluk Rima dengan erat,
gadis kecil itu sekarang sudah kelas 1 SD. Kemudian suasana pun semakin riuh
karena semuanya berebutan menunjukkan raportnya pada Rima, ya… semuanya
akhirnya bisa kembali bersekolah.
“Kak aku juga dapat
juara 1” teriak Satrio sambil berusaha menerobos teman-temannya agar Rima bisa
lebih jelas lagi melihat nilai-nilainya yang bagus.
“sudah ayo semua
duduk dulu, Kakak jadi bingung ini harus liat pnya siapa dulu” setelah mereka
duduk rapi Rima mulai berkeliling untuk melihat raport mereka satu per satu.
“Kakak bangga sama
kalian semua, kalian tidak cuma hebat tapi juga pinter-pinter. Kakak harap
kalian bisa mempertahankan prestasi kalian dan tentunya Bang Joy yang hanya
bisa melihat kita dari surga pasti tidak kalah bangganya dengan Kakak disini
melihat kalian bisa seperti ini” kata Rima dengan mata berkaca-kaca.
Uang bukanlah hambatan
untuk mewujudkan mimpi, karena dimana ada keyakinan dan kerja keras disana pasti
ada jalan.